WahanaNews-Banten I Polda Banten membongkar pabrik pembuatan sampo dan minyak rambut palsu dengan merek terkenal di sebuah gudang yang berada di Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Selasa (28/12/2021).
Kasubdit Indag Ditreskrimsus Polda Banten Kompol Condro Sasongko mengatakan, pengungkapan produksi dan perdagangan sampo dan minyak rambut palsu berawal ditemukannya ratusan saset sampo di salah satu warung di Kecamatan Mauk, Kabupaten Tangerang.
Baca Juga:
Wisatawan Indonesia Meningkat Tajam, 731 Ribu Perjalanan ke Luar Negeri di Oktober 2024
"Kemudian penyidik melakukan pengembangan dan menemukan tempat produksi beragam sampo dan minyak rambut palsu di dalam gudang yang terletak Pakuhaji, Tangerang," kata Condro kepada wartawan di Mapolda banten, Jumat (31/12/2021).
Saat dilakukan penggerebekan, kata Condro, petugas menemukan beberapa alat produksi. Alat tersebut yakni mixer, alat press, timbangan, pompa engkol, dan bahan baku pembuatan sampo serta minyak rambut.
Condro menjelaskan, bahan baku yang ditemukan berupa soda api, alkohol 96 persen, lem, bahan pengawet dan pewarna makanan. Kemudian kemasan sampo, ratusan renteng sampo dan minyak rambut palsu siap edar.
Baca Juga:
Bukan Awan Biasa, BMKG Klarifikasi Fenomena Langit Jakarta yang Memukau
"Saat saat itu pengelola tidak dapat menunjukkan legalitas badan usaha dan izin industrinya," ujar Condro.
Ada 7 pegawai dan otak aksi
Condro mengatakan, sampo dan minyak rambut tersebut mencatut merek terkenal. Dari lokasi, petugas mengamankan tujuh orang pegawai dan aktor intelektual dari pemalsuan produk kosmetik tersebut.
Setelah dilakukan pemeriksaan, penyidik menetapkan HL (28) warga Medan, Sumatera Utara sebagai tersangka.
Untung Rp 200 juta per bulan
HL sudah menjalankan bisnis ilegalnya itu sejak tiga tahun lalu dengan keuntungan Rp 200 juta per bulan.
“Dengan keuntungan fantastis itu, tidak heran tersangka mampu menggaji karyawannya dengan Rp 15 juta per bulan,” kata Condro. Akibat perbuatannya, HL dijerat pasal 60 UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan/atau Pasal 62 Jo Pasal 8 atau Pasal 9 ayat (1) huruf d UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
"Dengan ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 1,5 miliar," tutur Condro. [afs]