Taylor menduga, penguin mati kekurangan gizi akibat tidak mendapat cukup makan ikan yang menjadi makanan favorit mereka. Ini bisa dipicu dari aktivitas penangkapan ikan yang berlebihan oleh manusia.
Namun, Taylor juga menduga, kenaikan suhu permukaan laut yang disebabkan oleh perubahan iklim dan peristiwa siklus berkepanjangan yang dikenal sebagai La Nina telah memaksa ikan itu masuk ke perairan yang lebih dalam dan lebih dingin. Sehingga para penguin tidak dapat lagi menjangkau mereka untuk dijadikan makanan.
Baca Juga:
Kilauan Keindahan Pantai Pandaratan Semakin Terpancar Berkat Sentuhan TMMD
“Spesies kecil [penguin] ini bisa menyelam hingga kedalaman 20 atau 30 meter secara rutin, tetapi tidak terlalu bagus untuk menyelam lebih dalam dari itu,” kata Taylor.
Padahal menurutnya, genus penguin kecil ini disebut, Eudyptula, dalam bahasa Latin berarti "penyelam kecil yang baik".
Hipotesis ini dapat menjelaskan mengapa penguin kecil dari Pulau Selatan Selandia Baru tetap tidak terpengaruh. Sebab, air di sana tetap jauh lebih dingin di dekat permukaan daripada perairan di utara. Pemerintah Selandia Baru mencantumkan status penguin kecil sebagai "berisiko menurun", atau satu tingkat di bawah status "terancam" dan "punah".
Baca Juga:
Inisiatif Penghijauan TMMD di Pantai Pandaratan: Penanaman 1.000 Pohon untuk Lingkungan yang Lebih Baik
Saat ini, populasi penguin kecil di alam liar, menurut Bird Life International, kurang dari 500.000 ekor. Ini bukan pertama kalinya penguin kecil mati dalam jumlah besar di Selandia Baru.
Kematian lusinan, atau bahkan ratusan, terjadi rata-rata sekali setiap dekade akibat kesulitan makan atau badai ekstrem. Namun, ini adalah ketiga kalinya kematian besar terjadi dalam 10 tahun terakhir, sehingga menimbulkan mengkhawatirkan.
“Ketika Anda mulai melihatnya terjadi secara teratur seperti ini, maka benar-benar tidak banyak kesempatan bagi burung-burung untuk pulih di antara peristiwa dan membangun kembali jumlahnya lagi,” ucap Taylor.[mga]