WahanaNews Banten | Sejumlah keluarga korban kebakaran Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Tangerang, Banten, didampingi beberapa lembaga bantuan hukum mendatangi Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Kedatangan mereka untuk mengadu terkait kasus yang menewaskan 49 narapidana tersebut.
Baca Juga:
Lahan Milik Warga Kuala Jambi Terbakar Tengah Malam
"Kami melaporkan temuan dari pengakuan keluarga korban dan melaporkan temuan tersebut ke Komnas HAM," kata Perwakilan Tim Advokasi Korban Kebakaran Lapas Kelas I Tangerang Ma'ruf Bajammal di Jakarta, Kamis (28/10/2021).
Pengaduan tersebut bermula ketika Tim Advokasi Korban Kebakaran Lapas Kelas I Tangerang yang terdiri atas LBH Masyarakat (LBHM), LBH Jakarta, Imparsial, dan LPBH NU Tangerang membuka posko pengaduan.
Selama itu, kata dia, pihaknya menerima sembilan pengaduan dan tujuh di antaranya memberi kuasa untuk meminta pendampingan hukum.
Baca Juga:
Masih Ingat Kebakaran Lapas Tangerang? Kasus yang Tewaskan 49 Napi Itu Diadukan ke PBB
Dari pengakuan para keluarga korban, Tim Advokasi Korban Kebakaran Lapas Kelas I Tangerang menemukan setidaknya tujuh poin penting dari tragedi memilukan tersebut.
Pertama, adanya ketidakjelasan proses identifikasi tubuh korban yang meninggal dunia. Dengan kata lain, identifikasi yang dilakukan dinilainya tidak transparan. Bahkan, sampai korban dimakamkan tidak ada informasi jelas yang diterima oleh ahli waris.
"Jadi apa dasar identifikasi korban tersebut bisa teridentifikasi," kata Ma'ruf.
Kedua, yakni adanya ketidakterbukaan penyerahan jenazah korban yang meninggal dunia. Pada saat jenazah diserahkan, pihak keluarga ingin melihat namun disugesti oleh petugas agar tidak melihatnya.
Para keluarga korban terutama yang mengadu tetap bersikukuh ingin melihat untuk terakhir kalinya namun tetap saja tidak bisa.
Selanjutnya, ketiga, tim menemukan ketidaklayakan peti jenazah korban yang hanya terbuat dari triplek.
"Menurut keluarga korban peti tersebut tidak layak menjadi peti jenazah," katanya.
Bahkan, ada keluarga korban yang terpaksa membeli sendiri peti jenazah karena menilai peti yang disediakan pemerintah tidak layak untuk pemakaman anggota keluarganya.
Temuan keempat, yakni adanya indikasi intimidasi saat ahli waris menandatangani surat administrasi pengambilan jenazah korban. Saat akan menandatangani surat tersebut, keluarga korban diminta secepatnya menyelesaikan.
"Atas dasar itu kami melihat adanya upaya intimidasi saat proses penandatanganan penyerahan jenazah," ujar dia dikutip dari Antara.
Lalu kelima, yakni terdapat upaya pembungkaman agar para keluarga korban tidak menuntut pihak manapun atas peristiwa kebakaran Lapas Kelas I Tangerang.
Hal itu diperkuat melalui sepucuk surat yang harus ditandatangani ahli waris.
Poin keenam, tim menemukan tidak adanya pendampingan psikologis berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), pasca penyerahan jenazah.
Akibatnya, ada keluarga korban yang hingga saat ini ketika mendengar kata bakar atau melihat sesuatu yang dibakar merasa trauma atau tidak kuat.
Poin ketujuh, terkait pemberian uang duka senilai Rp 30 juta dinilainya sama sekali tidak cukup.
"Uang tersebut hanya habis untuk penghiburan atau kegiatan berdoa keluarga korban saja. Bahkan, ada yang terpaksa menomboki untuk kegiatan pascapemakaman," ujarnya. [Tio]