WahanaNews Banten | Sekjen Pengurus Pusat Badan Penyuluhan dan Pembelaan Hukum (BPPH) Pemuda Pancasila, KRT Tohom Purba, menyatakan penolakannya terhadap sistem pe-“wadah-tunggal”-an organisasi advokat, atau yang lazim disebut dengan istilah single bar.
“Ini bukan pernyataan tanpa dasar. Saya berangkat dari jargon yang akrab dengan Pemuda Pancasila, bahwa kami memang tidak ke mana-mana, tetapi ada di mana-mana,” kata Tohom Purba, dikutip dari WahanaNews, Sabtu (18/09/2021).
Baca Juga:
Sekretaris Pengurus Pusat BPPH Pemuda Pancasila Apresiasi Peluncuran Aplikasi Kita Pancasila: Terobosan Baru
Jargon tersebut, lanjutnya, tercermin pula pada postur BPPH Pemuda Pancasila sendiri, yang dihuni para advokat dari berbagai organisasi.
Tanpa menyebut nama, Tohom mengatakan, pihak yang hingga detik ini masih terus menyuarakan penerapan sistem “wadah tunggal” bagi organisasi advokat tersebut cenderung kudet (kurang update) terhadap situasi kekinian dan terjebak pada romantisme masa lalu.
“Sejujurnya, ide pewadahtunggalan organisasi advokat itu sudah tidak relevan, bahkan tidak realistis lagi, dengan situasi dan kondisi kekinian,” kata Tohom.
Baca Juga:
Jumat Berkah, Pengurus Pusat BPPH Pemuda Pancasila Berbagi Ratusan Nasi Kotak
Ia menjelaskan, konsep wadah tunggal ini pertama kali dicetuskan oleh Menteri Kehakiman Ali Said di akhir tahun 1970-an, di hadapan Ketua Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) waktu itu, Suardi Tasrif.
Pada situasi dan kondisi saat itu, lanjut Tohom, pemerintah memang menginginkan masing-masing profesi, seperti buruh, wartawan, advokat, dan lain-lain, hanya memiliki satu organisasi agar mudah diawasi dan dikontrol.
“Berkaca pada catatan sejarah itu, dapatlah disimpulkan bahwa secara alamiah organisasi advokat di Indonesia memang berdiri dengan menganut sistem multi bar association. Karena, kalau sejak awal sudah berpaham single bar, tentu tak perlu ada ‘kampanye’ pewadahtunggalan,” ujar Tohom, yang juga merupakan Ketua Bidang Perlindungan Konsumen DPP KAI (Kongres Advokat Indonesia) ini.
Maka, ia meyakini bahwa penerapan sistem “banyak wadah” (multi bar) bisa menjadi lebih dinamis ketimbang “wadah tunggal” (single bar).
Tentu, menurutnya, tidak masalah jika nantinya pendidikan dan kode etik advokat diatur oleh suatu badan khusus yang ditunjuk oleh pemerintah RI.
“Saya sepakat terkait wacana pembentukan badan, entah itu namanya mahkamah profesi atau dewan kehormatan, serta ujian bersama demi meningkatkan kualitas dan menjaga martabat advokat,” tegasnya.
Setidaknya, tambah Tohom, hal itu untuk menciptakan kesepahaman terhadap perilaku etis advokat.
“Jangan lagi ada advokat yang dihukum di organisasi A, pindah ke organisasi B dan C. Enggak boleh lagi seperti itu. Advokat yang dihukum di satu organisasi, dia tetaplah terhukum di organisasi mana pun,” tandasnya.
Ketika ditanya apakah “dukungan”-nya terhadap sistem multi bar ini juga sudah menjadi sikap resmi dari BPPH Pemuda Pancasila, Tohom menyebutnya dengan istilah “wacana yang menguat”.
“Secara resmi, ini memang sikap pribadi saya, dan belum menjadi pilihan formal dari BPPH Pemuda Pancasila yang disahkan lewat forum organisasi. Namun, saya melihat, multi bar ini sudah menjadi wacana yang menguat di tubuh BPPH Pemuda Pancasila. Hal ini tentu tak lepas dari jargon Pemuda Pancasila sendiri, yakni tidak ke mana-mana, tapi ada di mana-mana,” pungkas Tohom. [dhn]