WahanaNews Banten | Idealnya, setiap gedung atau bangunan milik pemerintah didirikan dengan standar yang lebih ketat, terutama dalam memitigasi bencana, alam maupun non-alam.
Karena, secara umum, bangunan milik pemerintah senantiasa menjadi area publik, yang tentunya berpotensi melahirkan banyak korban jika terjadi musibah.
Baca Juga:
DPP Martabat Prabowo-Gibran Ajak Masyarakat dukung Presiden dan Wakil Terpilih Demi Indonesia Maju
Hal itu disampaikan Sekjen Pengurus Pusat Badan Penyuluhan dan Pembelaan Hukum (BPPH) Pemuda Pancasila, KRT Tohom Purba, saat dimintai pandangannya pasca-kebakaran maut di Blok C2 Lapas Kelas I Tangerang, Banten, yang hingga Selasa (14/09/2021) tercatat sudah menyebabkan 48 napi meninggal dunia.
“Tragedi Blok C2 Lapas Kelas I Tangerang itu, tentu saja, menjadi alarm bagi kita untuk mengaudit, mengevaluasi, sekaligus mengeksekusi kesiapan mitigasi bencana pada bangunan-bangunan milik pemerintah, termasuk Lapas,” kata Tohom dikutip dari WahanaNews, Rabu (15/09/2021).
Ia mengaku miris mendengar statement sejumlah petinggi terkait tragika Lapas Tangerang, yang menurutnya seolah disampaikan tanpa rasa bersalah.
Baca Juga:
Alperklinas Indonesia Jadi Pembicara pada Forum Kelistrikan FISUEL Internasional di Barcelona
“Yang paling bikin miris, tentunya pernyataan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna Laoly, yang bilang bahwa instalasi listrik Lapas Tangerang memang belum pernah dibenahi sejak bangunan itu berdiri pada tahun 1972, atau hampir setengah abad. Padahal, berdasarkan hasil penyelidikan sementara, kebakaran itu diduga dipicu akibat hubungan arus pendek atau korsleting pada instalasi listrik,” kata Tohom.
“Pertanyaannya, apakah fakta itu baru diketahui Menkumham setelah Lapas Tangerang terbakar, atau sejak jauh hari sebelumnya? Artinya, apakah statement itu dilontarkan hanya sebagai bentuk langkah eskapis, ataukah pengakuan akan kelalaian pihaknya?” imbuhnya.
Selanjutnya, Tohom pun menyoroti soal over-capacity yang berujung pada timpangnya rasio jumlah sipir dengan warga binaan penghuni Lapas.
“Mantan Ketua KPK, Antasari Azhar, yang pernah menjadi penghuni Lapas Tangerang, menyatakan, kelebihan kapasitas di sana sudah mencapai 400 persen. Artinya, satu sipir berbanding dengan 50 narapidana, sehingga ada banyak yang tidak dapat terawasi,” katanya.
Padahal, lanjut Tohom, idealnya, seorang sipir itu maksimal menjaga 20-25 napi atau tahanan.
“Di Malaysia saja rasionya hanya 1:5, bahkan di Srilanka 1:3. Bandingkan dengan Lapas Tangerang yang dihuni 2.087 tahanan dan napi tapi hanya dijaga oleh 13 orang petugas,” jelasnya.
Dengan kondisi seperti itu, Tohom membayangkan bila ada kejadian seperti kebakaran atau bencana alam, tentu tidak akan bisa diatasi dengan cepat.
“Apalagi kalau kejadiannya di malam hari, tingkat kepanikan petugas tentunya bakal jauh meningkat, sehingga tidak bisa mengatasi persoalan dengan cepat dan tanggap,” katanya.
Fenomena kelebihan kapasitas di Lapas, menurut Tohom, bukanlah sesuatu yang baru diketahui saat ini oleh para pemangku tanggung jawab.
Namun, ia mempertanyakan langkah solutif yang selama ini dilakukan untuk menangani fenomena tersebut.
“Kenapa tidak mulai dilakukan, bukan sekadar dipikirkan, penerapan teknologi yang bisa cepat membuka pengamanan berlapis dengan satu pijitan tombol, misalnya. Soal biaya? Tentunya masih jauh lebih murahlah ketimbang hilangnya puluhan nyawa manusia dalam sekejap,” ujar Tohom.
Ia meyakini, segala standar pengamanan gedung dan bangunan milik pemerintah itu semuanya sudah tercatat dengan lengkap melalui setumpuk regulasi.
“Persoalannya terletak pada penerapannya, auditnya, pengawasannya. Pada akhirnya, aturan standarisasi pada bangunan milik pemerintah itu seolah hanya menjadi tumpukan buku berdebu yang baru dibuka untuk berdalih, mencari alasan, menemukan langkah eskapis, bukan lagi pedoman,” pungkasnya. [yhr/Tio]