WahanaNews-Banten | Krisis air imbas perubahan iklim yang mengganggu siklus hidrologi sudah nyata di dunia. Ada beberapa wilayah kebanjiran, ada yang malah kekeringan.
"Krisis air terjadi hampir di seluruh belahan dunia dan menjadi krisis global yang harus diantisipasi setiap negara. Tidak peduli itu negara maju atau berkembang. Karenanya, isu ini harus menjadi perhatian bersama seluruh negara tanpa terkecuali," ungkap Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati.
Baca Juga:
BMKG Hang Nadim: Kota Batam Berpotensi Hujan Sepanjang Hari Ini
Hal itu disampaikan Dwikorita dalam The 10th World Water Forum Kick Off Meeting di Jakarta Convention Centre, Jakarta, Rabu (15/2/202), dalam rilis BMKG yang diterima Sabtu (18/2/2023) malam.
Dwikorita mencontohkan, World Meteorological Organization (WMO) pada tahun 2022 yang lalu melaporkan bahwa kekeringan dan kelangkaan air telah melanda Eropa, Amerika Utara Barat, Amerika Selatan Barat, Mediterania, Sahel, Amerika Selatan, Afrika Utara, Timur Tengah, Asia Tengah, Asia Timur, Asia Selatan, Australia Tenggara dan berbagai wilayah lain di Bumi. Namun, pada saat yang sama, banjir juga terjadi Easton Sahil, Pakistan, Indonesia, hingga Australia Timur.
"Tidak ada perbedaan antara negara maju dan negara berkembang. Keduanya sama-sama menderita akibat kekeringan dan banjir. Jadi, sekali lagi kekeringan dan banjir adalah dampak yang sama akibat dari dari kencangnya laju perubahan iklim yang diperparah dengan kerusakan lingkungan" urainya.
Baca Juga:
Hingga 25 November: Prediksi BMKG Daerah Ini Berpotensi Cuaca Ekstrem
Fenomena di atas itu dijelaskan Dwikorita, disebabkan karena terus meningkatnya emisi gas rumah kaca yang berdampak pada meningkatnya laju kenaikan temperatur udara, mengakibatkan proses pemanasan global terus berlanjut, dan berdampak pada fenomena perubahan iklim.
Fenomena ini, kata dia, akan terus berlanjut apabila laju peningkatan emisi gas rumah kaca tidak dikendalikan atau ditahan, dan menyebabkan semakin cepatnya proses penguapan air permukaan, sehingga mengakibatkan ketersediaan air semakin cepat berkurang di suatu lokasi belahan Bumi, namun sebaliknya terjadi hujan yang berlebihan (ekstrem) di lokasi atau belahan Bumi yang lain.
Ketersediaan air permukaan dan air tanah yang makin berkurang ini, lanjut Dwikorita, akan memengaruhi ketersediaan air bersih di berbagai belahan Bumi. Selain itu, perubahan iklim yang ekstrem menyebabkan proses turunnya hujan menjadi ekstrem dan tidak merata. Di mana sebagian besar daerah di Bumi memiliki curah hujan yang tinggi, sedangkan di daerah bagian lain tidak.
Akibat perubahan iklim, lanjut Dwikorita, kejadian-kejadian ekstrem lebih kerap terjadi, terutama kekeringan dan banjir. Jika sebelumnya rentang waktu kejadian berkisar 50 - 100 tahun, maka kini rentang waktu menjadi semakin pendek atau frekuensinya semakin sering terjadi dengan intensitas atau durasi yang semakin panjang. Dampaknya, bisa mempengaruhi produktivitas tanaman pangan hingga mengakibatkan krisis pangan.
"Krisis air dan berbagai kejadian ekstrem tersebut dapat berdampak terjadinya krisis pangan di berbagai belahan dunia, sebagaimana yang telah diprediksi oleh WMO," jelas dia.
Untuk itu Indonesia mengajak seluruh negara-negara di dunia untuk memitigasi atau mengurangi peningkatan dampak serius dari perubahan iklim tersebut. Melalui World Water Forum 2024 yang akan digelar di Bali diharapkan mampu meningkatkan komitmen dan kerjasama pengelolaan air global secara berkelanjutan.
Kick off meeting atau persiapan pembukaan Forum Air Dunia ke-10 yang mengambil tema "Water for Shared Prosperity" tersebut digelar pada 15-16 Februari 2023 di Jakarta. Sedangkan puncak acara akan diselenggarakan di Bali pada 18-24 Mei 2024 yang akan dihadiri para ilmuwan dan pakar hingga para pemimpin negara, politikus, korporasi, NGO, media, dan masyarakat umum.
"Situasi Bumi saat ini menjadi alarm serius bagi kita semua. Kita perlu bekerja sama, berpikir bersama, dan memecahkan masalah bersama," pungkas mantan rektor Universitas Gadjah Mada ini.[ss]