WahanaNews-Banten | Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia atau LPPOM MUI mengingatkan masyarakat untuk mewaspadai peredaran daging celeng di Provinsi Banten jelang Ramadan dan Idul Fitri.
Hal tersebut diungkapkan Direktur Utama LPPOM MUI, Muti Arintawati usai mengukuhkan LPPOM MUI Banten masa khidmat 2022-2027 di Aula MUI Provinsi Banten, Selasa (22/3/2022).
Baca Juga:
Aksi AKP Dadang Guncang Solok Selatan, Hujani Rumah Dinas Kapolres dengan Tembakan
Kewaspadaan harus terus ditingkatkan lantaran Provinsi Banten menjadi pintu masuk peredaran daging oplosan yang diduga berasal dari Sumatera.
Berdasarkan informasi yang diterima, Muti Arintawati menyebut peredaran daging oplosan sering muncul jelang Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri. Hal tersebut terjadi lantaran daging menjadi konsumsi yang paling difavoritkan pada Ramadan dan Idul Fitri
Diduga berasal dari Sumatera, daging celeng itu kemudian disebar di beberapa daerah, paling banyak berada di Jakarta, dan pernah juga ada di Bogor dan Bandung.
Baca Juga:
OTT KPK Bengkulu, Calon Gubernur Petahana Dibawa dengan 3 Mobil
“Informasinya daging celeng ini datang dari Sumatera, bukan hasil dari produk lokal Jawa,” ujarnya kepada wartawan.
Meski ia tidak bisa memastikan daging celeng itu disebar di Banten atau tidak. Namun, ia memastikan sebelum disebar daging tersebut melintasi Provinsi Banten sebagai pintu masuk daging oplosan.
“Banten ini hanya sebagai pintu masuk saja atau juga terjadi hal serupa, makanya ini jadi perhatian bersama agar tidak terjadi hal yang sama,” ujarnya.
Karenanya, ia meminta LPPOM Banten beserta pihak terkait lainnya ikut serta mengawasi, dan menutup peluang terjadinya penyebaran daging oplosan di Banten.
“Daging celeng itu yang dijual dicampur daging sapi, atau hanya dilumuri darah daging sapi dan dijual diaku daging sapi. Makanya ini jadi perhatian dan tidak bisa dilakukan oleh LPPOM sendiri,” terangnya.
Tak hanya itu, sertifikasi pemotongan hewan juga perlu diberikan. Hal itu dilakukan untuk menjamin kehalalan daging yang dijual di pasar atau diproduksi sebagai bahan makanan lain.
“Itu produk hulu yang kemudian berpengaruh kehalalan di hilir, kalau akhirnya menggunakan daging kita pastikan produknya halal yang tentunya dibuktikan dengan sertifikasi halal,” katanya.
Berdasarkan data survei, secara nasional baru ada sekitar 15 persen dari total rumah potong hewan (RPH) yang ada di Indonesia. Maka dari itu perlu sosialisasi yang lebih masif.
“Kalau sudah selesai di pemotongan, kita hanya perlu membeli di tempat pemotongan yang sudah bersertifikat halal. Tapi bukan berarti yang tidak bersertifikat itu haram, tidak juga, hanya itu tidak bisa menjamin,” paparnya.
Direktur LPPOM-MUI Provinsi Banten, Rodani mengatakan, permasalahan daging cukup riskan di Banten, terlebih Provinsi Banten ini menjadi jalur lintas Sumatera Jawa. Pihaknya bersama Dinas Pertanian dan Peternakan (Distanak) Provinsi Banten terus berupaya untuk mengawasi peredaran daging ke Banten.
“Kami terus mengawasi agar jangan sampai ada yang tercecer atau masuk (daging celeng-red) ke Provinsi Banten,” tuturnya.
Tak hanya itu, terkait RPH, ia mengaku baru ada 16 dari total 56 RPH yang ada di Provinsi Banten. Sementara wilayah Tangerang Raya baru mulai dilakukan sertifikasi. “Untuk wilayah Tangerang Raya, dari 15 RPH 30 persennya sudah bersertifikat,” ungkapnya.
Maka dari itu, pihaknya bersama Distanak akan bekerjasama untuk dilakukan sertifikasi halal di seluruh RPH yang ada di Provinsi Banten. Sehingga kehalalan daging yang dijual benar-benar terjamin.
“Kebanyakan untuk pemotongnya sudah bersertifikat, hanya saja kalau RPH nya belum. Makanya kita lakukan pendekatan lagi melalui edukasi yang akan difasilitasi oleh Distanak,” ujarnya. [afs]