WahanaNews Banten | Koalisi aksi mahasiswa yang tergabung dari GMNI Cabang Serang, SEMPRO, SAPMA PP Untirta, Kumala, Kumandang, KMS 30, PMII UIN Banten, LBH Pijar, SWOT, SMGI menggelar aksi unjuk rasa di halte depan Kampus UIN Sultan Maulana Hasanudin Banten, Ciceri, Kota Serang, Jumat (24/09/2021).
Dalam aksinya, mahasiswa ini menyampaikan tujuh tuntutan diantaranya meliputi mencabut Undang-Undang Omnibus Law; Menghentikan segala bentuk monopoli, perampasan tanah, terhadap rakyat, dan mendesak penyelesaian sengketa tanah khususnya di Provinsi Banten; Mengecam segala bentuk represifitas dan kriminalisasi yang dilakukan terhadap gerakan rakyat; Menolak reforma agrarian palsu ala Jokowi-Amien dan; Mewujudkan kedaulatan pangan untuk rakyat; Mewujudkan kesejahteraan petani melalui peningkatan nilai tukar petani; Melaksanakan secara tegas PERDA Provinsi Banten No.5 Tahun 2014 tentang Perlindugan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; Gagalnya gugus tugas dalam menjalankan reforma agraria di Provinsi Banten.
Baca Juga:
Ribuan Warga Hadir, Saat Jokowi Blusukan di Banyumas Dampingi Luthfi
Ihksan, perwakilan koalisi aksi tersebut mengatakan pada tanggal 24 September ditetapkan sebagai “Hari Tani Nasional” berdasarkan Keputusan Presiden No. 169/1963. UUPA semakin jauh dari upaya mengangkat taraf hidup kaum tani,
Hal tersebut tak hanya mendiskreditkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sendiri, tetapi berimplikasi pula pada kebijakan sektor agraria yang kapitalistik dan menguntungkan korporasi besar.
Namun apa daya kekuatan elit bisnis dan politik borjuasi cukup menghambat apa yang dicita-citakan oleh UUPA.
Baca Juga:
Pertemuan Hangat Presiden Prabowo dan Presiden ke-7 RI di Kota Surakarta
“Pertanian dan pengelolaan sumber-sumber agraria lainnya di Indonesia masih saja terus terbelakang, serta memiliki ketergantungan dengan kekuatan modal kapital global dan mekanisme pasar yang memasung kaum tani Indonesia dalam jerat kemiskinan, namun di satu sisi yang lain memberikan keuntungan yang berlipat ganda kepada korporasi besar aktor monopoli penguasaan lahan,” ucapnya.
Ia menjelaskan dampak sepanjang tahun 2020, Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mencatat terjadi letusan konflik sebanyak 241 di berbagai sektor agraria. Konflik akibat perkebunan sebanyak 122 letusan konflik, kehutanan (41), pembangunan infrastruktur (30), properti (20), tambang (12), fasilitas militer (11), pesisir dan pulaupulau kecil (3) dan agribisnis (2).
Hal ini menujukkan bahwa masih banyak konflik agraria yang akan berdampak terhadap penurunan produktifitas pada sektor pertanian, selain itu terdapat permasalahan lain yaitu kriminalisasi terhadap maysarakat yang disebabkan oleh konflik agraria, sepanjang tahun 2020, KPA mencatat setidaknya telah terjadi 134 kasus kriminalisasi (132 korban laki-laki dan 2 perempuan), 19 kali kasus penganiayaan (15 laki-laki dan 4 perempuan), dan 11 orang tewas di wilayah konflik agraria.