WahanaNews Banten | Melalui Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Pasanggrahan Tatang Sumarna, mengungkapkan langsung kejadian pelanyanan desa kacau balau. Semuanya karena permasalahan status staf desa belum ada pencabutan SK yang lama ke staf yang baru. Masyarakat terkena dampak buruknya.
Contohnya, Rahmat, salah satu Kadus yang lama, merasa lemah kekuasaannya karena jabatan. Karena status jabatannya sebagai Kepala Dusun (Kadus) lama telah dirampas, ujuk-ujuk ada Kadus baru dibentuk tanpa pencabutan SK sebelumnya. Hal ini membuat kebingungan di kalangan masyarakat, harus mengarah kemana dalam rangka pengurusan di Desa Pasanggrahan.
Baca Juga:
Diduga Polisi Panggil Camat Solear Terkait LPJ Pikades Pasanggrahan, Warga Acam Ketuanya Jangan Songong
Rahmat mengungkapkan dirinya sangat takut dengan yang dialami Wawan Hartono yang begitu berani menandatangani mengatasnamakan kepala desa utuk pembuatan izin domisili padahal SK Wawan belum ada.
Dapat diketahui sampai saat ini Senin (08/11/2021) Wawan tersebut belum memiliki SK, baik rekomendasi juga belum didapat dari kecamatan, mengingat Permendagri Nomor 67 Tahun 2017 Tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa.
“Siapa itu Wawan? Syarat jadi staf desa umurnya sudah tidak memenuli syarat," ungkap Rahmat.
Baca Juga:
Camat Solear Diduga Tak Mampu Selesaikan Polemik di Desa Pasanggrahan, LSM GRIB: Ada apa ?
Di lain sisi, saat dikonfimasi WahanaNews Banten terkait tidaklanjut pemberitaan, Tatang selaku Ketua BPD Pasanggrahan menguraikan bahwa dalam implementasi penetapan status staf desa, BPD telah mengirimkan surat resmi kepada Kepala Ddesa Pasanggrahan Agus yang berisi agar saudara Agus membuat surat kepada seluruh staf lama mengajak kembali bekerja, dan agar mengaktifkan staf desa yang memiliki SK sehingga pelayanan desa kepada masyarakat tidak terganggu dan terhindar dari maladministrasi.
Surat tersebut pun ditembuskan Tatang langsung kepada Camat Kecamatan Solear dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa (DPMPD) Kabupaten Tangerang.
Tatang juga menyampaikan ada apa dengan Kepala Desa Pasanggrahan sehingga tidak mengambil sikap terkait staf desa. Seharusnya ada undangan musyawarah kepada staf desa yang memiliki SK, didampinggi oleh BPD dan pihak Kecamatan Solear.
“Agus yang pernah menjabat kepala desa periode 2007-2015 seharusnya tahu hal ini, apakah ada unsur nepotisme," jelas Tatang.
Tatang juga menambahkan jika mungkin diperlukan terkait hal itu, dirinya harus berkoordinasi dengan Camat Solear supaya terjadi musyawarah terkait status staf desa yang memiliki SK.
“Lebih baik Camatlah yang memfasilitasi musyawarah. Dengan harapan pihak kecamatan juga jangan menutup mata terkait hal ini, atau menunggu bola. Ya harus berperan aktif dalam administrasi pemerintahan desa di bawah jabatannya, supaya tidak berdampak fatal bagi pelayanan penduduk Pasanggrahan," tambah Tatang.
Sementara dari hasil penelusuran WahanaNews Banten, dan mengutip pernyataan Bambang seorang Penggiat LSM Grib Jaya yang juga menjabat RT di Desa Pasanggrahan.
Menurut Bambang diduga praktek nepotisme terjadi dalam pemerintahan Desa Pasanggrahan dimana, Agus sebagai Kepala Desa, istrinya sendir akan berperan sebagai bendahara, dan anaknya sebagai kadus.
"Ya, semoga Kecamatan melihat dan turun gunung. Kalau benar ini bagian dari nepotisme, supaya tidak bagian dari konspirasi yang berlarut di desa,” ucap Bambang.
WahanaNews Banten mencoba menggurai kajian hukum terkait permasalahan dalam pelanggaran nepotisme ini.
Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan menerbitkan Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 Tanggal 13 November 1998 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Selanjutnya Pemerintah dalam rangka melaksanakan ketetapan MPR tersebut, menerbitkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain itu, lahir pula Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dan Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 2 Angka 7 Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/2001 Tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yang menyatakan perlu segera membentuk undang-undang guna mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan kolusi dan/atau nepotisme yang dapat mengakibatkan terjadinya tindak pidana korupsi. [Tio]